Asal Sharing, Hoaks Tak Tersaring

11 Maret 2022

foto artikel

Mengakses informasi dalam media sosial (Unsplash)

Dewasa ini, rasanya tidak mungkin bagi masyarakat untuk luput dari penggunaan media sosial. Berbagai macam informasi dapat diakses jauh lebih luas dan bebas daripada membeli media cetak seperti koran atau majalah. Bertukar informasi bukanlah hal yang sulit lagi untuk dilakukan. Kita sebagai pengguna media sosial dapat menyukai, berkomentar, ataupun membagi informasi yang dianggap menarik pada linimasa hanya dengan satu–dua kali ketukan.

Media sosial hadir sebagai ruang publik yang paling efektif. Informasi yang lewat di linimasa akan disusun oleh algoritma pada aplikasi tersebut. Pengguna dapat membuat profil akun mereka dengan nama asli atau samaran sehingga siapa saja dapat menulis dan menyebarkan informasi secara anonim. Penyebaran yang terjadi secara masif membuat pemilik perusahaan teknologi informasi dan pemerintah kesulitan untuk menyaring dan memberhentikan penyebaran hoaks.

Hoaks adalah informasi yang tidak sesuai fakta, bohong, dan palsu. Dilansir dari Journalism, Fake News & Disinformation oleh UNESCO, hoaks dibagi menjadi tiga kategori: misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Berbeda dengan misinformasi dan malinformasi, disinformasi secara sengaja direkayasa dan dibuat-buat oleh suatu pihak yang ingin menggiring opini negatif publik. Disinformasi dibuat untuk merugikan pihak-pihak tertentu, memanfaatkan ketakutan masyarakat pada hal yang belum pasti, dan mengubah pemikiran serta opini. (Juditha, 2018, p. 38)

Survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan bahwa hoaks yang paling banyak diterima oleh masyarakat yaitu politik. Kemudian, kesehatan, agama, kerusuhan, lingkungan, dan bencana alam. Mayoritas dari masyarakat menilai bahwa Facebook menjadi media yang paling banyak terjadi penyebaran hoaks, setelahnya terdapat WhatsApp, YouTube, dan portal berita daring. Ini menunjukkan bahwa walau mengakses informasi ditawarkan media sosial untuk berbagi informasi menjadi lebih mudah, ada juga risiko yang harus diterima.

Orang-orang dapat menerima hoaks dan membagikannya kembali dan kembali, seperti lingkaran setan tanpa henti. Tidak hanya itu, hoaks juga dapat dibagikan ke platform seperti grup obrolan atau komunitas yang anggotanya dapat berisi dari ratusan hingga ribuan orang. Beberapa di antaranya yang merupakan disinformasi pun semakin ramai dan hangat untuk dibicarakan— semakin banyak diterima sebagai realitas.

Semua itu dapat lebih minim terjadi jika penerima informasi tidak mudah terprovokasi sehingga memverifikasi dahulu informasi yang diterima. Sebagai generasi yang fasih dengan teknologi digital, mungkin kita cenderung merasa lebih andal dalam membedakan hoaks dari visualisasinya. Sayangnya, banyak yang tidak sadar bahwa pembuat disinformasi selalu beradaptasi dengan target mereka. Informasi yang menurut kita benar hanya karena dibagikan oleh teman, influencer yang disukai, atau susunan kata yang rapi tidak membuat suatu informasi menjadi valid.

Tentunya, kita tidak ingin menjadi salah satu orang yang mudah terprovokasi atau termakan fitnah. Berdasarkan penelitian University of West Florida, ada beberapa cara untuk memeriksa kebenaran suatu informasi:

  1. Verifikasi akun
    Periksa apakah pengguna yang menyebarkan informasi bekerja atau paham pada bidang dari topik yang dibicarakan.
  2. Lakukan analisis
    Baca kembali apakah informasi tersebut hanya condong pada sudut pandang tertentu atau memberikan cerita secara keseluruhan.
  3. Periksa sumber
    Cari melalui Google situs berita kredibel yang membahas topik yang sama, atau situs web cek fakta yang sudah mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut.
  4. Lihat tanggal unggah
    Periksa kembali kapan informasi itu diunggah dan pastikan bahwa bukan informasi lama yang kembali muncul di linimasa.
  5. Nilai tata bahasa
    Analisis apakah informasi tersebut seakan-akan dibuat terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, terlalu aneh, atau terlalu dilebih-lebihkan.

Sebagai generasi yang tumbuh bersama teknologi, kita perlu memahami pengaruh memilah-pilih informasi yang kredibel. Satu ketuk "bagikan" dapat memberikan pengaruh yang besar.

~

Penulis: Shafiqah Alifia Annisa

Sumber: Hoax communication interactivity in social media and anticipation (Interaksi komunikasi hoax di media sosial serta antisipasinya), Fenomena penyebaran hoax dan hate speech pada media sosial, Kontestasi berita hoax pemilu presiden tahun 2019 di media daring dan media sosial, Mastel, Kominfo, dan University of West Florida Library